Hydrogen Vehicle vs Electric Vehicle: Mana yang Lebih Baik?

Dalam transisi menuju kendaraan ramah lingkungan, dunia tengah berpacu antara dua teknologi utama: kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) dan kendaraan berbahan bakar hidrogen (Hydrogen Fuel Cell Vehicle/HFCV). Meskipun keduanya menawarkan solusi terhadap krisis iklim dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, Indonesia secara jelas menunjukkan keberpihakan kepada kendaraan listrik. Lalu, mengapa kendaraan hidrogen tidak menjadi prioritas? Jawabannya tidak sekadar soal teknologi, melainkan juga menyangkut kekayaan sumber daya tambang dan dinamika bisnis nasional.

Dominasi Kendaraan Listrik di Indonesia

Pemerintah Indonesia menargetkan produksi 600 ribu unit kendaraan listrik roda empat dan 2 juta unit kendaraan listrik roda dua pada tahun 2030. Target ini didukung oleh berbagai insentif fiskal, pengurangan pajak, serta pembangunan pabrik baterai EV di Morowali dan Batang. Fokus pemerintah ini bukan tanpa alasan.

Indonesia adalah salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel merupakan bahan utama dalam produksi baterai lithium-ion, komponen vital kendaraan listrik. Secara strategis, mendorong industri EV berarti memaksimalkan nilai tambah nikel nasional dan menciptakan ekosistem industri baru berbasis hilirisasi tambang.

Kendaraan Hidrogen: Teknologi yang Tertinggal atau Disengaja?

Kendaraan hidrogen sebenarnya menawarkan keunggulan: waktu pengisian ulang lebih cepat daripada EV dan jangkauan tempuh yang lebih panjang. Jepang dan Korea Selatan telah lama mengembangkan teknologi ini, bahkan Toyota dan Hyundai telah memproduksi mobil hidrogen secara massal. Namun di Indonesia, perkembangan kendaraan hidrogen masih sangat terbatas. Tidak ada roadmap nasional yang jelas terkait HFCV, apalagi infrastruktur pengisian hidrogen yang mendukung.

Alasannya bukan semata karena efisiensi atau kesiapan teknologi, tetapi karena tidak ada insentif ekonomi langsung dari pengembangan hidrogen bagi elite bisnis tambang nasional.

Kaya Sumber Daya, Tapi Terkunci Skandal

Indonesia memiliki beragam sumber daya energi alternatif, termasuk potensi besar untuk memproduksi hidrogen dari air (elektrolisis) dan biomassa. Namun, pengembangan energi alternatif kerap tersandera oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Beberapa skandal besar dalam industri tambang, seperti manipulasi data produksi, korupsi dalam pemberian izin ekspor nikel, hingga monopoli rantai pasok oleh segelintir perusahaan besar, menunjukkan bahwa industri ini telah menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Alih-alih membangun ekonomi energi yang beragam dan berkelanjutan, kebijakan energi Indonesia cenderung mengunci pada komoditas yang menguntungkan elite tertentu.

Contohnya, dalam laporan Global Witness dan investigasi sejumlah media nasional, disebutkan bahwa beberapa tambang nikel terbesar di Indonesia terhubung dengan konglomerat yang memiliki kedekatan dengan pengambil kebijakan. Industri EV tidak hanya dipromosikan demi lingkungan, tetapi juga sebagai jalan untuk memperbesar dominasi bisnis mereka melalui hilirisasi tambang.

Hidrogen Tak Menguntungkan Elite Tambang

Hidrogen sebagai bahan bakar tidak bergantung pada nikel atau logam tanah jarang. Justru, teknologi ini membuka peluang baru dalam pengelolaan energi yang lebih bersih dan terdesentralisasi, seperti produksi hidrogen dari limbah organik, air laut, atau energi terbarukan.

Namun, karena tidak bersinggungan langsung dengan komoditas tambang yang dikuasai oligarki bisnis, pengembangan hidrogen tidak mendapatkan perhatian besar. Investasi infrastruktur, riset, dan regulasi pun sangat minim.

Dengan kata lain, kebijakan kendaraan ramah lingkungan di Indonesia bukan semata didorong oleh urgensi lingkungan atau efisiensi teknologi, tetapi lebih oleh siapa yang diuntungkan dalam rantai ekonominya.

Politik Energi dan Masa Depan Transportasi

Pilihan Indonesia untuk memprioritaskan kendaraan listrik dan mengabaikan kendaraan hidrogen bukan hanya keputusan teknokratis, melainkan keputusan politis dan ekonomis. Selama arah kebijakan energi ditentukan oleh kepentingan elite tambang dan bukan oleh kebutuhan rakyat atau keberlanjutan lingkungan, maka potensi besar seperti hidrogen akan terus terabaikan.

Jika Indonesia benar-benar ingin menjadi pemain global dalam energi hijau, maka diversifikasi teknologi—termasuk pengembangan kendaraan hidrogen—perlu didorong secara serius, transparan, dan terlepas dari kepentingan sempit kelompok tertentu.

Solusi Digitalisasi Bisnis dari Nawatara Tech

Buat kamu yang pengen punya website tapi nggak mau ribet, MauWebBisnis dari Nawatara Tech siap bantu! Kami bikin website yang profesional, cepat, dan gampang dikelola. Mulai dari Landing Page sampai Website Sistem Otomatis, semua bisa disesuaikan dengan kebutuhan bisnis kamu.

Jadi, daripada terus-terusan terjebak di marketplace, lebih baik ambil langkah besar buat punya website sendiri. Saatnya bisnis kamu lebih stabil, lebih untung, dan lebih siap bersaing!

Bangun website profesional yang bukan hanya cepat dan menarik, tapi juga didukung strategi digital marketing lengkap untuk meningkatkan traffic dan penjualan bisnismu!

MauWebBisnis dari NawaTara Tech menawarkan layanan Website Profesional #1, mulai dari Landing Page hingga Website Sistem Otomatis yang dirancang untuk meningkatkan visibilitas dan konversi bisnismu.

💡 Yuk, digitalisasikan bisnis kamu bareng Nawatara Tech! 🚀 Dapatkan DISINI!

Screenshot-2025-04-07-132931-1024x491 Hydrogen Vehicle vs Electric Vehicle: Mana yang Lebih Baik?

Baca JugaSritex Comeback! Ribuan Pekerja Balik, Tapi Ada yang Beda

Berlangganan Saluran WhatsApp:  WA Channel

Join Community SekarangNawatara Community

1 comment

Post Comment